Dalam era digital, komunikasi antara manusia dan kecerdasan buatan (AI) tidak lagi sekadar berada pada perangkat seperti komputer atau ponsel pintar. Kini, AI hadir lebih personal melalui smartwatch, perangkat kecil di pergelangan tangan yang bukan hanya mencatat detak jantung, tetapi juga menyampaikan rekomendasi kesehatan, notifikasi emosional, hingga prediksi perilaku. Relasi ini bukan semata relasi teknologis, tetapi juga sosial.
Smartwatch bertransformasi menjadi medium komunikasi dua arah. Pengguna tidak hanya menerima informasi, melainkan juga secara sadar maupun tidak sadar memberikan data secara terus-menerus. Dalam komunikasi ini, AI tidak sekadar menjadi alat, melainkan aktor yang berpartisipasi aktif dalam membentuk makna sosial dan keputusan personal.
Sosiologi melihat komunikasi bukan hanya sebagai pertukaran pesan, tetapi juga sebagai arena pembentukan identitas, norma, dan relasi kekuasaan. Ketika AI dalam smartwatch mulai memberi saran seperti "saatnya tidur" atau "kamu tampak stres hari ini", maka AI telah masuk dalam wilayah sosial yang sebelumnya eksklusif milik manusia: pengaturan diri dan interpretasi emosi.
Fenomena self-tracking lewat smartwatch menunjukkan bagaimana individu menjadi subjek sekaligus objek dalam ekosistem data. Dalam kerangka Gilbert Simondon, proses individuasi-pembentukan diri-tidak hanya berasal dari lingkungan sosial, tetapi kini juga dimediasi oleh algoritma yang mendefinisikan normalitas: berapa langkah yang "cukup sehat", atau pola tidur yang "ideal".
Smartwatch menghadirkan tekanan sosial dalam bentuk yang lebih halus namun konsisten. Rekomendasi AI, meski berbasis statistik, menciptakan norma-norma baru yang memengaruhi perilaku. Hal ini menghasilkan "panoptikon algoritmik", pengawasan yang tidak lagi kasat mata tetapi diterima sebagai bantuan. Kita ingin sehat, tetapi apakah kita sedang mengatur hidup kita atau sedang diatur?
Dilema etis muncul ketika smartwatch tidak lagi sekadar mencatat, tetapi memengaruhi. Apakah AI adalah mitra yang membantu individu memahami diri? Atau, justru menjadi pengatur tak terlihat yang membentuk identitas berdasarkan skrip algoritmik? Komunikasi manusia-AI dalam smartwatch menunjukkan pergeseran kontrol dari otonomi ke automasi.
Dari sudut sosiologis, komunikasi dengan AI dalam smartwatch juga memperlihatkan ketimpangan kelas. Hanya mereka yang mampu membeli dan memahami teknologi ini yang dapat terlibat dalam "percakapan algoritmik". Hal ini menciptakan jurang baru antara "yang terhubung" dan "yang tidak" - bukan sekadar digital divide, tetapi juga data divide.
Smartwatch memfasilitasi representasi diri berbasis angka dan grafik. Kita menjadi terbiasa mengidentifikasi diri sebagai "kurang tidur", "kegiatan cukup", atau "jantung stabil" - sebuah versi diri yang direduksi dalam angka. Apakah ini membebaskan atau mereduksi kompleksitas eksistensial manusia?
Meskipun banyak pengguna menerima peran AI dalam smartwatch sebagai "asisten personal", ada pula yang mulai mempertanyakan relasi ini. Beberapa individu menunjukkan resistensi dengan mematikan fitur tertentu, menolak notifikasi, atau bahkan kembali ke jam analog. Ini menunjukkan bahwa komunikasi manusia dengan AI tidak selalu harmonis, melainkan juga menjadi arena tawar-menawar makna.
Penting bagi masyarakat untuk memiliki literasi digital yang tidak hanya teknis, tetapi juga sosiologis - memahami bagaimana teknologi memengaruhi relasi sosial, nilai-nilai, dan pembentukan identitas. Tanpa literasi ini, masyarakat berisiko menjadi subjek pasif dari desain teknologi yang tak selalu netral.
Komunikasi antara manusia dan AI dalam smartwatch merupakan fenomena sosioteknis yang kompleks. Ia mencerminkan pergeseran besar dalam relasi sosial: dari interaksi antar manusia ke interaksi manusia-algoritma. Dalam dunia yang semakin algoritmis, tugas kita bukan hanya menguasai teknologi, tetapi juga mengkritisi bagaimana teknologi menguasai kita.
Dalam praktik sehari-hari, komunikasi antara manusia dan AI dalam smartwatch tampak sederhana: notifikasi kesehatan, saran aktivitas, atau pengingat waktu tidur. Namun, di balik kesederhanaan itu terdapat struktur komunikasi kompleks berbasis responsif. Ketika seseorang menerima notifikasi "Anda terlalu lama duduk, silakan berdiri", itu merupakan bentuk komunikasi instruktif yang dihasilkan dari pemrosesan data real-time. AI bertindak sebagai penyampai pesan, sekaligus penafsir perilaku tubuh manusia berdasarkan parameter algoritmik.
Simak Video "Video: Apakah AI Bisa Dijadikan Referensi Belajar Siswa?"
(fay/fay)