Sudah menjadi hal lumrah jika developer maupun publisher melakukan promosi besar-besaran menjelang peluncuran gamenya. Apalagi jika game itu spesial. Ya, inilah yang dilakukan oleh Ready At Dawn dan Sony Computer Entertainment dengan game AAA eksklusif pertama mereka di tahun 2015, The Order: 1886.
Dengan merilis beberapa teaser yang didukung oleh berbagai pemberitaan di sejumlah media, keduanya bisa dikatakan sukses dalam menarik minat gamer. Dalam sekejap, The Order: 1886 jadi game third person shooter yang paling dinanti. Keran pre order mengalir deras, namun sayang, rencana tak selalu mulus kenyataan.
Detik-detik menjelang perilisan, sang developer -- Ready At Dawn -- justru harus menghadapi terpaan kritik pedas dari gamer lantaran dikatakan bahwa game ini hanya punya durasi permainan yang sangat singkat, 5 jam saja. Belum lagi banderol harga yang tidak murah, sampai Rp 600 ribuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berbagai rumor dan kritik pedas yang datang bertubi-tubi itu sempat membuat bos Ready at Dawn Andrea Pessino frustasi hingga mencurahkan isi hatinya melalui Twitter. "Catatan: Saya tidak akan berkomentar bagi pada jebakan klik (clickbait) rumor mengenai durasi game, 'downgrade' grafis, kebodohan, dan omong kosong. Tak perlu sungkan bertanya," kicau Pessino beberapa waktu lalu.
Penasaran dengan hype dan berbagai rumor mengenai The Order: 1886, detikINET lantas mencoba untuk memainkannya. Ini hasilnya:
1. Her Majesty's Royal Knights
|
Pria yang kerap dipanggil dengan nama Grayson oleh rekan-rekannya ini tak lain merupakan seorang ksatria senior yang tergabung ke dalam organisasi The Order.
The Order sendiri merupakan organisasi fiksi yang telah menjaga kerajaan Inggris sejak jaman Raja Arthur dan kerap berdiskusi di meja bundar (round table).
Bersama dengan tiga orang temannya yang juga tergabung di dalam organisasi The Order, yakni Percival, Lady Igraine, dan Lafayette, Galahad berperang melawan pemberontak--manusia biasa -- dan juga bangsa manusia serigala atau disebut dengan Lycan dan Half-breed.
Kendati mengambil latar belakang di tahun 1886, namun pada kenyataannya Ready At Dawn menggambarkan suasana kota London yang tak sama dengan apa yang ada dalam sejarah. Ya, gamer justru akan melihat London dalam versi steampunk, lengkap dengan pakaian, gadget, hingga senjata yang terbilang nyentrik.
Menariknya, semua gadget dan senjata tersebut dikatakan merupakan hasil ciptaan dari Nikola Tesla, seorang investor berkebangsaan Amerika yang juga merupakan ahli mesin dan elektro.
Ya, walau hampir sebagian besar cerita merupakan fiktif belaka, namun Ready At Dawn berusaha untuk menampilkan satu-satunya sosok nyata yang memang hidup di era 1800-an lengkap dengan beberapa penemuannya.
Sungguh konsep yang bikin penasaran. Namun kenyataannya untuk alur cerita, The Order: 1886 tak bisa dikatakan menarik. Ya, alur cerita game ini malah membuat bosan. London di tahun 1886, manusia serigala, mungkin sebagian gamer sudah familiar dengan konsep cerita seperti game ini. Konspirasi dan penghianatan pun jadi kunci utama alur cerita dari The Order: 1886. Untungnya, kebosanan itu tertolong oleh tampilan grafis yang wah.
Cukup diakui memang, untuk urusan grafis, The Order: 1886 tampil memukau. Ready At Dawn berhasil menampik rumor yang mengatakan jika grafis gamenya mengalami penurunan. Selain itu, karakter-karakter figuran digarap sangat detil. Baik ekspresi maupun dialog antar karakter patut diacungi jempol. Logat British yang kental seolah membuat gamer menonton film-film Inggris.
2. Cinematic Gaming
|
Bermain game ini serasa menonton sebuah film, dimana game ini juga dilengkapi dengan efek blur. Perasaan seperti itu kian mantap dengan adanya black bar yang terpampang di atas dan di bawah.
Tak ada yang salah memang dengan hadirnya black bar, malah bisa dibilang hal itu mampu lebih menghadirkan nuansa dan kesan sinematik mendalam. Hanya saja, ketika game ini dimainkan pada televisi yang berukuran 32 inch ke bawah, maka secara tak langsung layar pun akan ikut mengecil.
Sepanjang permainan gamer pun akan disuguhkan cukup banyak cutscene yang pada akhirnya membuat kami tak betah untuk memegang kontroler berlama-lama. "Lagi-lagi cutscene," mungkin itulah yang akan Anda ucapkan ketika bermain game ini. Sekali lagi, ini cukup membuat bosan.
Bahkan, ada satu chapter dimana gamer sama sekali hanya menonton cutscene. Apakah bisa dilewati (skip)? Tidak bisa! Inilah yang kemudian menjadikan game ini tidak punya replay value. Jual kembali atau koleksi, hanya dua pilihan yang bisa dilakukan oleh gamer dengan game ini.
3. Bad Gameplay
|
Sistem pertempuran yang dipakai dalam game ini sendiri sebenarnya cukup lengkap, dimana terdapat cover shooter, stealth, baku hantam, dan QTE. Namun semua itu sudah diatur dalam game dan gamer mau tak mau harus mengikuti pakem tersebut.
Semisal begini, ketika ada adegan dimana gamer harus menghadapi musuh dengan stealth, ya itulah yang harus dilakukan. Begitu pula sebaliknya, gamer tak akan bisa mengendap-endap ketika menyerang musuh yang memang ditakdirkan untuk adu tembak.
Untungnya, Galahad dibekali kemampuan khusus, dimana dengan menekan tombol L1, Galahad akan mampu memperlambat waktu dan bergerak cepat menembak musuh yang bergerombol.
QTE sendiri jadi sistem pertempuran yang diandalkan selain cover shooter. Mungkin bagi sebagian orang, QTE tidak jadi masalah. Namun apa jadinya jika sistem tersebut kemudian acap kali diterapkan ketika menghadapi musuh, terutama bos besar? Tentu akan sangat membosankan.
Musuh dalam game ini, seperti yang dikatakan di awal terbagi menjadi dua jenis, yakni manusia dan Lycan. Manusia ini merupakan kelompok para pemberontak yang dibekali oleh keahlian yang berbeda. Yang perlu diwaspadai di sini adalah penembak jitu (sniper) dan pengguna shotgun yang secara nekat akan menghampiri gamer.
Tidak ada bar health maupun potion dalam game ini. Yang ada hanya sistem regenerasi yang kerap kita jumpai dalam game pertempuran semacam Call of Duty atau Battlefield. Ketika tertembak dan merasa cukup parah, gamer cukup berlindung hingga dirasa sudah cukup aman untuk kembali bertempur.
Kendati demikian, apabila gamer terkena serangan yang cukup parah hingga tak bisa bangun, gamer cukup menekan tombol segitiga untuk kemudian meminum Blackwater. Entah apa itu Blackwater, yang jelas ramuan itu tidak akan ditemukan di mana pun dan gamer cukup dibekali satu botol Blackwater saja dalam satu chapter.
Terakhir yang dirasa cukup mengganggu adalah cara bergerak Galahad yang lamban. Saya sendiri termasuk orang yang tidak sabaran ketika karakter yang dimainkan hanya mampu berjalan lambat. Lantas apakah lari tidak bisa? Tentu bisa. Hanya saja, lari cuma dapat digunakan dalam kondisi tertentu, semisal ada musuh. Itu pun menggunakan tombol yang tidak nyaman, yakni dengan menekan L3.
4. Hasil Akhir
|
Saya sendiri termasuk seorang gamer yang tak senang bermain dengan cara terburu-buru. Butuh waktu sekitar 6 sampai 7 jam bagi saya untuk dapat menyelesaikan semua chapter dalam The Order: 1886. Itu sudah termasuk berkeliling dan melihat-lihat kondisi lingkungan dari kota London.
Dan jika mengacu dari hasil review di atas, jelas gameplay yang buruk menjadi faktor utama game ini tidak layak untuk dibeli dengan banderol harga yang mahal. Tidak adanya replay value jelas membuat game ini hanya cukup dimainkan satu kali saja. Kecuali Anda termasuk tipikal gamer yang gemar menonton film.
Belum lagi cutscene yang panjang dan tidak dapat dilewati (skip), juga jadi nilai minus dari game ini. Namun, bagi gamer yang penasaran dan ingin tetap memainkan game ini sangat disarankan untuk menyiapkan makanan ringan atau mie instan sebagai teman bermain.